Rebo Wekasan, atau yang sering disebut juga sebagai Rabu Pungkasan, adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Muslim di Indonesia, terutama di beberapa daerah di Jawa. Tradisi ini biasanya diperingati pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, bulan kedua dalam kalender Hijriah. Masyarakat meyakini bahwa pada hari tersebut, Allah menurunkan 320.000 bala' (musibah) ke dunia. Oleh karena itu, berbagai ritual dan amalan dilakukan untuk memohon perlindungan dari musibah tersebut. Namun, bagaimana sesungguhnya Rebo Wekasan ini dalam tinjauan ajaran Islam yang murni? Artikel ini akan mengupas sejarah, amalan, serta pandangan para ulama tentang tradisi Rebo Wekasan.
Sejarah dan Latar Belakang Rebo Wekasan
Asal-usul Rebo Wekasan tidak dapat ditemukan dalam literatur-literatur Islam klasik, baik dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Sejarahnya lebih kental dengan cerita-cerita lokal dan tradisi turun-temurun. Salah satu versi yang populer menyebutkan bahwa tradisi ini berasal dari seorang ulama sufi di Jawa yang bernama Syekh Abdul Hamid Kendal. Konon, beliau mendapat ilham atau isyarat spiritual bahwa pada hari Rabu terakhir bulan Safar akan turun banyak malapetaka. Oleh karena itu, beliau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan amalan-amalan tertentu untuk menolak bala'.
Namun, versi lain juga menyebutkan bahwa Rebo Wekasan ini adalah tradisi yang sudah ada sebelum Islam masuk ke Jawa, yang kemudian diakulturasikan dengan ajaran Islam. Masyarakat Jawa kuno memiliki kepercayaan terhadap hari-hari baik dan buruk, dan hari Rabu terakhir bulan Safar dianggap sebagai hari yang "sial" atau penuh dengan energi negatif.
Amalan-amalan Rebo Wekasan
Berbagai amalan yang dilakukan pada Rebo Wekasan sangat bervariasi tergantung pada tradisi di masing-masing daerah. Beberapa amalan yang umum dilakukan antara lain:
Shalat Tolak Bala': Shalat sunnah empat rakaat yang dikerjakan dengan niat khusus untuk menolak bala'. Tata cara shalat ini pun beragam, ada yang membaca surat-surat tertentu dengan jumlah tertentu.
Membuat Jimat atau Rajah: Sebagian masyarakat membuat jimat dari rajahan tulisan arab atau jimat-jimat lain yang diyakini dapat melindungi diri dari musibah.
Berdoa dan Bersedekah: Doa-doa khusus dan sedekah juga sering dilakukan dengan harapan agar dijauhkan dari musibah.
Membaca Surat Yasin atau Ayat Kursi: Membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an dengan jumlah tertentu juga dipercaya memiliki khasiat khusus untuk menolak bala'.
Tinjauan Syariat Islam dan Pandangan Ulama
Dalam ajaran Islam yang murni, keyakinan bahwa ada hari-hari "sial" atau hari-hari yang membawa musibah adalah hal yang tidak berdasar. Islam mengajarkan bahwa setiap hari adalah ciptaan Allah SWT dan tidak ada hari yang lebih buruk atau lebih baik dari hari lainnya dalam hal keberuntungan atau kesialan. Rasulullah SAW bersabda:
لا عدوى ولا طيرة ولاهامة ولا صفر
"Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada ramalan nasib, tidak ada (anggapan) burung hantu (sebagai pertanda buruk) dan tidak ada (anggapan) kesialan bulan Safar." (HR. Bukhari dan Muslim).
"Tidak ada penyakit menular, tidak ada kesialan, tidak ada burung hantu (yang dianggap pembawa sial), dan tidak ada kesialan pada bulan Safar." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini dengan tegas menolak keyakinan tentang kesialan yang dikaitkan dengan waktu atau hal-hal lain. Semua takdir, baik dan buruk, datangnya dari Allah SWT. Kita tidak bisa menolak takdir dengan melakukan ritual-ritual tertentu yang tidak diajarkan oleh syariat.
Oleh karena itu, sebagian besar ulama kontemporer yang merujuk pada hadits-hadits shahih sepakat bahwa tradisi Rebo Wekasan, terutama ritual-ritualnya, adalah perbuatan yang tidak memiliki landasan dalam Islam. Mereka mengkategorikan tradisi ini sebagai bid'ah, yaitu sesuatu yang baru dalam agama namun tidak memiliki dasar dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Pilihan: Mengikuti atau Tidak Mengikuti?
Bagi seorang Muslim yang ingin menjaga kemurnian agamanya, pilihan yang paling tepat adalah tidak mengikuti tradisi Rebo Wekasan. Mengapa?
Tidak Ada Rujukan Hadits Shahih: Amalan-amalan dalam Rebo Wekasan tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sebagai Muslim, kita diperintahkan untuk mengikuti sunnah beliau dalam beribadah.
Resiko Bid'ah: Mengikuti tradisi yang tidak ada dasarnya dalam syariat dapat menjerumuskan seseorang pada bid'ah. Rasulullah SAW bersabda: "Setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka." (HR. Abu Daud).
Keyakinan yang Menyimpang: Keyakinan bahwa ada hari "sial" atau hari di mana bala' turun secara khusus adalah keyakinan yang bertentangan dengan konsep takdir dan keesaan Allah dalam mengatur alam semesta.
Resiko Ikut-ikutan dalam Beragama
Ikut-ikutan dalam beragama tanpa ilmu dapat menimbulkan beberapa resiko serius:
Penyimpangan Akidah: Tanpa pemahaman yang benar, seseorang bisa terjerumus pada keyakinan-keyakinan yang menyimpang dari ajaran Islam, seperti percaya pada jimat, hari sial, atau kekuatan benda-benda tertentu.
Terjebak dalam Ritual Kosong: Amalan-amalan yang dilakukan tanpa dasar syariat bisa menjadi ritual kosong yang tidak bernilai ibadah di sisi Allah.
Kesalahan Prioritas: Terlalu fokus pada ritual-ritual seperti Rebo Wekasan bisa membuat seseorang melalaikan kewajiban-kewajiban dasar dalam Islam, seperti shalat lima waktu, puasa, dan sedekah yang benar.
Kesimpulan
Rebo Wekasan adalah sebuah tradisi yang berakar dari budaya lokal dan keyakinan masyarakat, namun tidak memiliki landasan yang kuat dalam ajaran Islam yang murni. Islam mengajarkan bahwa segala takdir, baik dan buruk, datangnya dari Allah SWT, dan tidak ada hari yang lebih buruk atau lebih baik dari hari lainnya. Mengikuti amalan-amalan dalam Rebo Wekasan adalah sebuah perbuatan yang termasuk bid'ah dan beresiko merusak kemurnian akidah seorang Muslim.
Sebagai seorang Muslim yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, pilihan yang paling bijak adalah tidak mengikuti tradisi ini. Jika kita ingin menolak bala' dan memohon perlindungan dari musibah, cukuplah dengan memperbanyak doa, istighfar, sedekah, dan mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah-ibadah yang memang diajarkan dalam syariat. Hal ini jauh lebih aman dan lebih sesuai dengan ajaran Islam yang murni.