- Pada bacaan lafadz "الا " ("illaa") yang merupakan pengelulangan dari lafadz " الا الذين امنوا " . Kesalahan terjadi pada saat mengulang lafadz "الا " ("illaa") tersebut. Bukannya tetap dibaca "الا " ("illaa"), dengan lam yang ditasydid, tapi berubah menjadi "الى" (ilaa) dengan tanpa tasydid. Kesalahan ini tentu bisa merubah makna dari makna aslinya, karena lafadz "الا " (illaa) dengan "الى" (ilaa) itu beda jauh artinya. Yang pertama bermakna "kecuali", yang kedua bermakna "ke/kepada". Padahal diantara hal yang sangat terlarang adalah merubah huruf, harokat, kata, kalimat dalam Al-Qur'an, apalagi sampai merubah makna. Dalam konteks kesalahan ini jelas akan merubah makna dari "kecuali" menjadi "kepada".
- Dalam bacaan huruf "Ta" pada akhir lafadz " وعملوا الصالحات" (wa'amilussholihati). Kesalahan terjadi saat hurut "Ta" disini dibaca "mad" (panjang), padahal harusnya pendek. Jika ingin waqof (berhenti disitu, seharusnya dibaca "wa'amilussholihaat ("Ta" nya disukun), kemudian diulangi lagi dari wa'amilussholihaati watawashou bilhaqqi dan seterusnya. Jika memang washol (tidak waqof) ya harus dibaca pendek "Ta"nya.
- Pada saat membaca huruf "ق" dalam kalimat " وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر" , yang terjadi adalah sama dengan kasus nomer 2 di atas, "bil haqqi" yang seharusnya dibaca pendeknya "qof"nya, tapi prakteknya dipanjangkan menjadi "bilhaqii watawashou bisshobr".
01 September 2025
Hati-Hati Membaca Surat Al 'Ashr Saat Mau Pulang Sekolah
26 Agustus 2025
Meneladani Kesederhanaan Rasulullah ﷺ di Zaman Modern (Edisi Maulidan)
Di tengah arus globalisasi dan konsumerisme yang kian tak terkendali, manusia modern sering kali terjebak dalam perlombaan untuk mengumpulkan harta dan mengejar kemewahan. Paradigma ini sering kali menimbulkan kegelisahan, kekosongan spiritual, dan hilangnya makna hidup yang hakiki. Berangkat dari kegelisahan tersebut, makalah ini hadir sebagai refleksi untuk kembali kepada teladan terbaik sepanjang masa, yaitu Rasulullah Muhammad ﷺ. Beliau telah memberikan contoh nyata bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada melimpahnya materi, melainkan pada kesederhanaan yang dilandasi oleh keyakinan dan rasa syukur.
Konsep Kesederhanaan dalam Islam
Dalam Islam, kesederhanaan tidak dimaknai sebagai kemiskinan atau penolakan terhadap kenikmatan duniawi yang halal. Sebaliknya, ia adalah sikap spiritual yang dikenal sebagai zuhud, yaitu ketidakbergantungan hati pada harta benda dunia. Seseorang yang zuhud tidak menimbun harta, tetapi menggunakannya sebagai sarana untuk beribadah dan beramal saleh. Kesederhanaan juga mencakup sifat qana'ah, yaitu merasa cukup dan puas dengan rezeki yang telah diberikan Allah SWT, tanpa membandingkan diri dengan orang lain.
Dalil-Dalil tentang Kesederhanaan
Konsep kesederhanaan dalam Islam didukung oleh dalil-dalil kuat dari sumber utama ajaran, yaitu Al-Qur'an dan Hadits.
a. Dalil dari Al-Qur'an
Allah SWT berfirman:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Artinya: "Makan dan minumlah, tetapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-A'raf: 31)
Ayat ini adalah fondasi ajaran untuk menjauhi israf (pemborosan) dan segala bentuk perilaku yang melampaui batas kewajaran, baik dalam konsumsi maupun penggunaan sumber daya lainnya.
b. Dalil dari Hadits Nabi ﷺ
Rasulullah ﷺ bersabda:
الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا لَيْسَ بِتَحْرِيمِ الْحَلَالِ، وَلَا بِإِضَاعَةِ الْمَالِ، وَلَكِنْ أَنْ تَكُونَ بِمَا فِي اللَّهِ أَوْثَقَ مِنْكَ بِمَا فِي يَدَيْكَ
Artinya: "Zuhud (hidup sederhana) di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal, atau menyia-nyiakan harta, akan tetapi hendaknya engkau lebih yakin terhadap apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu." (HR. Tirmidzi)
Hadits ini memperjelas bahwa zuhud adalah tentang keyakinan hati, bukan tentang kondisi fisik. Ketenangan sejati didapat saat hati lebih terikat pada janji-janji Allah daripada pada harta yang ada di genggaman.
Kisah-Kisah Teladan Rasulullah ﷺ dan Para Sahabat
Rasulullah ﷺ adalah perwujudan sempurna dari ajaran yang beliau bawa. Kehidupan sehari-hari beliau penuh dengan contoh-contoh kesederhanaan yang patut diteladani.
a. Kisah bersama Istri Beliau, Aisyah RA
Aisyah RA pernah ditanya tentang makanan Rasulullah ﷺ. Beliau menjawab, "Kadang-kadang, sebulan penuh kami tidak menyalakan api (untuk memasak). Makanan kami hanya kurma dan air." Ini menunjukkan bahwa kemewahan bukanlah standar kebahagiaan dalam rumah tangga Nabi.
b. Kisah bersama Sahabat Umar bin Khattab RA
Suatu hari, Umar bin Khattab RA melihat Rasulullah ﷺ terbaring di atas tikar kasar hingga membekas di tubuhnya. Umar menangis melihat kondisi itu dan membandingkannya dengan raja-raja Romawi dan Persia yang hidup dalam kemewahan. Rasulullah ﷺ kemudian menjawab dengan bijaksana, "Wahai Umar, biarkanlah dunia ini untuk mereka. Bukankah kita telah memilih akhirat?" Jawaban ini menggarisbawahi prioritas utama Rasulullah ﷺ, yaitu kebahagiaan abadi di akhirat, bukan kenikmatan fana di dunia.
Solusi Mengimplementasikan Kesederhanaan di Era Modern
Meskipun hidup di era digital dan serba canggih, prinsip-prinsip kesederhanaan tetap relevan dan dapat diterapkan. Berikut beberapa langkah praktis yang bisa dilakukan:
Terapkan Pola Pikir Minimalis: Fokus pada esensi. Miliki barang secukupnya, yang benar-benar dibutuhkan, dan hindari akumulasi barang-barang yang tidak esensial.
Selektif terhadap Media Sosial: Gunakan media sosial dengan bijak. Hindari kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain yang memicu rasa iri dan keinginan konsumtif. Jadikan media sosial sebagai alat, bukan standar hidup.
Latih Rasa Syukur (Qana'ah): Setiap hari, biasakan untuk mensyukuri hal-hal kecil yang Anda miliki. Rasa syukur adalah penangkal terbaik terhadap ketidakpuasan dan ambisi yang berlebihan.
Investasi pada Pengalaman, Bukan Benda: Alokasikan sumber daya Anda (waktu, uang) untuk hal-hal yang memberikan pengalaman berharga, seperti liburan, belajar, atau berinteraksi dengan orang-orang tercinta. Kenangan indah lebih abadi daripada materi.
Penutup
Kesederhanaan bukanlah sebuah kekurangan, melainkan sebuah kekuatan. Ia adalah jalan untuk membebaskan diri dari belenggu materialisme dan menemukan kebahagiaan yang sejati. Rasulullah ﷺ telah membuktikan bahwa hidup yang paling berharga adalah hidup yang tidak terikat oleh dunia, melainkan dipenuhi oleh keberkahan, rasa cukup, dan kedekatan dengan Sang Pencipta.
"Kesederhanaan adalah tanda kebijaksanaan. Semakin sedikit yang kita butuhkan, semakin dekat kita pada kebahagiaan."
23 Agustus 2025
Stop Bullying : Renungan dari Surat Al-Hujurat Ayat 11
Dalam kehidupan sosial, interaksi antar sesama manusia adalah hal yang tak terhindarkan. Namun, seringkali kita terjebak dalam perbuatan yang dapat menyakiti perasaan orang lain, seperti merendahkan, mencela, atau bahkan memanggil dengan julukan yang buruk. Islam, sebagai agama yang mengajarkan akhlak mulia, memberikan petunjuk jelas untuk menghindari perilaku tercela ini. Salah satu petunjuk paling penting dan mendalam terkandung dalam Al-Qur'an, yaitu Surat Al-Hujurat ayat 11. Ayat ini tidak hanya sekadar larangan, tetapi juga sebuah fondasi untuk membangun masyarakat yang penuh kasih sayang dan saling menghargai. Berikut adalah teks Surat Al-Hujurat ayat 11:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Terjemahan:
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling mema1nggil dengan julukan-julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."
Penjelasan
Ayat ini secara eksplisit melarang tiga perbuatan tercela yang sering terjadi dalam interaksi sosial:
Mengolok-olok (sukhriyah): Larangan ini ditujukan kepada laki-laki maupun perempuan. Mengolok-olok adalah merendahkan, mengejek, atau menertawakan orang lain karena suatu kekurangan, baik fisik, status sosial, maupun kekurangan lainnya. Allah mengingatkan bahwa bisa jadi orang yang diolok-olok itu memiliki kedudukan yang lebih mulia di sisi-Nya. Hanya Allah yang mengetahui hakikat hati dan amal seseorang.
Mencela (lamz): Larangan ini mencakup perbuatan mencela, menghina, atau mengkritik orang lain dengan cara yang menyakitkan, baik melalui lisan, isyarat, maupun tulisan. Mencela bisa juga diartikan sebagai "aib" atau "cela" yang dicari-cari pada diri orang lain.
Memanggil dengan julukan yang buruk (tanabuz bil alqab): Ini adalah larangan untuk memanggil orang lain dengan nama atau julukan yang tidak disukai atau mengandung hinaan, seperti "si gendut," "si pendek," "si ceking," atau julukan lain yang bertujuan merendahkan. Panggilan semacam ini dapat melukai hati dan merusak hubungan.
Ayat ini kemudian ditutup dengan peringatan keras bahwa perbuatan tersebut adalah "fasik" (pelanggaran besar) setelah seseorang beriman. Artinya, orang yang beriman seharusnya menjauhi perilaku-perilaku tersebut. Barangsiapa yang tidak bertobat dari perbuatan ini, maka ia termasuk golongan "orang-orang yang zalim", yaitu orang yang berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri dan orang lain.
Hadis Terkait
Larangan dalam ayat ini diperkuat oleh banyak hadis Rasulullah ﷺ. Salah satunya adalah hadis berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
Terjemahan:
"Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: 'Janganlah kalian saling mendengki, jangan saling menipu, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi, dan janganlah sebagian kalian menjual atas penjualan sebagian yang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, ia tidak boleh menzaliminya, tidak boleh membiarkannya (terhinakan), dan tidak boleh merendahkannya. Ketakwaan itu ada di sini (beliau menunjuk dadanya sebanyak tiga kali). Cukuplah seseorang dianggap buruk jika ia merendahkan saudara Muslimnya. Setiap Muslim haram (diganggu) darahnya, hartanya, dan kehormatannya atas Muslim yang lain.'" (HR. Muslim)
Hadis ini secara gamblang menegaskan bahwa merendahkan orang lain adalah perbuatan yang sangat buruk. Bahkan, Nabi ﷺ menyebutkan bahwa merendahkan orang lain sudah cukup untuk membuat seseorang dianggap buruk. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya perbuatan merendahkan martabat orang lain di mata Islam.
Pendapat Para Ulama
Para ulama sepakat bahwa ayat ini menjadi dasar etika sosial dalam Islam. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini melarang setiap bentuk penghinaan, baik dengan ucapan, perbuatan, maupun isyarat. Beliau menekankan bahwa julukan-julukan yang buruk seringkali menjadi pemicu pertengkaran dan permusuhan.
Imam As-Sa'di menafsirkan bahwa larangan ini mencakup semua jenis penghinaan, tidak hanya dari segi fisik, tetapi juga dari segi status, kekayaan, atau keturunan. Beliau menegaskan bahwa kehormatan seorang Muslim itu suci dan wajib dijaga.
Implementasi di Era Modern
Di era digital dan media sosial saat ini, aplikasi dari ayat ini menjadi semakin relevan dan mendesak. Perilaku cyberbullying
, membuat meme yang merendahkan, atau bahkan sekadar komentar negatif di media sosial adalah bentuk-bentuk modern dari sukhriyah
(mengolok-olok), lamz
(mencela), dan tanabuz bil alqab
(memanggil dengan julukan buruk). Internet seringkali menjadi wadah di mana orang merasa bebas untuk merendahkan orang lain tanpa konsekuensi. Padahal, dampak emosional dan mentalnya bisa jauh lebih besar. Ayat ini mengingatkan kita untuk selalu menjaga lisan dan jari-jemari kita.
Solusi untuk Menghindari Perbuatan Tercela
Meningkatkan Kesadaran Diri: Selalu ingat bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Jangan merasa lebih baik dari orang lain.
Empati: Sebelum berbicara atau bertindak, pikirkan bagaimana perasaan jika kita yang berada di posisi mereka.
Kendali Lisan dan Jari: Biasakan untuk berpikir sebelum berbicara atau mengetik. Jika tidak ada hal baik untuk dikatakan, lebih baik diam.
Menyadari Akibat: Pahami bahwa mengolok-olok, mencela, dan memberi julukan buruk dapat merusak hubungan, menyakiti hati, dan bahkan memutus tali silaturahmi.
Memperbanyak Istighfar: Jika terlanjur melakukan kesalahan, segera bertobat dan memohon ampunan kepada Allah serta meminta maaf kepada orang yang disakiti.
Kesimpulan
Surat Al-Hujurat ayat 11 adalah pedoman emas bagi setiap Muslim untuk membangun masyarakat yang damai dan saling menghargai. Ayat ini mengajarkan kita untuk tidak menilai orang lain dari penampilan luarnya, tetapi dari akhlak dan ketakwaannya. Mengolok-olok, mencela, dan memberi julukan buruk adalah cerminan dari hati yang tidak bersih. Sebaliknya, menghargai dan memuliakan orang lain adalah tanda dari keimanan yang sejati.
"Janganlah lisanmu menjadi pedang yang melukai, biarlah ia menjadi mata air yang menyegarkan."