Pendosawalan Kalinyamatan Jepara

16 Agustus 2025

Pentingnya Membangun Kebiasaan Baik di Masyarakat



Membiasakan diri dengan hal-hal positif seperti tolong-menolong, saling menghormati, atau menjaga kebersihan lingkungan, dapat berkembang menjadi tradisi yang berakar kuat. Tradisi-tradisi ini tidak hanya menciptakan harmoni, tapi juga menjamin keberlanjutan kebaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang menganjurkan umatnya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 148:

لكل جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ

إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

Artinya: "Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan syariat dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu."

Ayat ini secara eksplisit mendorong umat Islam untuk "berlomba-lomba dalam kebaikan" (fastabiqul khairat), yang secara tidak langsung mendukung pembentukan kebiasaan-kebiasaan baik.

Prinsip ini diperkuat oleh hadis Nabi SAW yang dikenal dengan sebutan hadits Man Sanna Sunnatan Hasanatan berikut ini :

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ

 وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Artinya: "Barangsiapa yang membuat suatu kebiasaan (sunnah) yang baik dalam Islam lalu kebiasaan itu diamalkan oleh orang-orang setelahnya, maka dicatat untuknya pahala orang yang mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barangsiapa yang membuat suatu kebiasaan (sunnah) yang buruk dalam Islam lalu kebiasaan itu diamalkan oleh orang-orang setelahnya, maka dicatat untuknya dosa orang yang mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun dosa mereka." (HR. Muslim)

Pendapat Para Ulama

· Imam Nawawi dalam syarahnya terhadap hadis ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "sunnah hasanah" adalah kebiasaan baik yang sesuai dengan syariat Islam dan tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Ini bisa berupa inovasi positif dalam hal-hal duniawi atau amalan-amalan yang disyariatkan yang kurang populer, lalu dihidupkan kembali.

· Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat bahwa hadis ini tidak memberikan legitimasi untuk membuat bid’ah dalam urusan ibadah murni, melainkan mengacu pada amalan-amalan baik yang memiliki dasar syariat namun belum menjadi kebiasaan umum.

Contoh sunnah hasanah dalam konteks ini adalah memulai tradisi bersedekah secara rutin di hari jum’atmenggalakkan kebersihan lingkungan seminggu sekali, mengadakan majlis ta’lim rutinan dan lain sebagainya yang kemudian diikuti oleh banyak orang. Pelopor kebiasaan ini akan terus mendapatkan pahala selama kebiasaan itu diamalkan. Amalan seperti ini bisa dikategorikan dalam "Amal Jariyah".

Bahaya Kebiasaan Buruk

Sebaliknya, hadis tersebut juga memperingatkan tentang bahaya sunnah sayyi'ah (kebiasaan buruk). Kebiasaan seperti membuang sampah sembarangan yang kemudian menjadi tradisi di suatu lingkungan, berjudi kartu dalam acara 'melekan' suatu hajatan, menggelar panggung gembira yang mengandung kemaksiatan dalam momen-momen tertentu yang dapat menghancurkan etika dan moral masyarakat terutama generasi muda yang kemudian menjadi tradisi turun-temurun. Pelaku pertama yang memulai kebiasaan buruk ini akan menanggung dosa akumulatif dari semua orang yang mengikutinya. Inilah yang biasa disebut sebagai "Dosa Jariyah", dosa yang akan selalu mengalir dosanya karena telah membuat periaku maksiat di tengah-tengah masyarakat yang kemudian diikuti oleh orang-orang sepeninggalnya hingga menjadi tradisi turun-menurun. 

Kesimpulan

Membangun kebiasaan baik adalah investasi sosial dan spiritual yang sangat berharga. Ia tidak hanya mendatangkan manfaat di dunia, tapi juga pahala yang terus mengalir di akhirat, sesuai dengan janji Nabi SAW. Sebaliknya, memulai atau memelihara kebiasaan buruk adalah perbuatan yang sangat berbahaya, karena dosanya akan terus mengalir selama kebiasaan tersebut diamalkan. Oleh karena itu, setiap individu memiliki tanggung jawab untuk menjadi pelopor kebaikan dan menjauhkan diri dari perbuatan yang dapat menjadi cikal bakal tradisi yang merusak diri dan masyarakat di sekitarnya.*

 

Share:

14 Agustus 2025

Relevansi Nilai-Nilai Pramuka dengan Ajaran Islam


Gerakan Pramuka, sebuah wadah pembinaan karakter, memiliki nilai-nilai luhur yang tidak hanya bersifat universal, tetapi juga sangat relevan dan selaras dengan ajaran Islam. Nilai-nilai ini terangkum dalam Dasa Dharma dan Tri Satya, yang secara mendalam mencerminkan prinsip-prinsip Islam yang menekankan pada pembentukan pribadi yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi sesama.

1. Ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa (Takwa kepada Allah SWT)

Nilai pertama dalam Dasa Dharma, "Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa," adalah pondasi utama dalam ajaran Islam. Takwa berarti menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya karena rasa takut dan cinta kepada-Nya.

  • Ayat Al-Qur'an:

    Allah SWT berfirman:

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

    Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS. Ali 'Imran: 102)

  • Contoh Nyata:

    Seorang anggota Pramuka yang Muslim mengamalkan nilai ini dengan selalu menjaga salat lima waktu meskipun sedang dalam kegiatan kemah di hutan. Ia juga memulai setiap kegiatan Pramuka dengan doa dan bersyukur atas nikmat alam yang diciptakan Allah SWT.

2. Cinta Alam dan Kasih Sayang Sesama Manusia (Ukhuwah dan Khalifah)

Pramuka mengajarkan untuk mencintai alam dan menyayangi sesama manusia. Dalam Islam, manusia diamanahkan sebagai khalifah (pemimpin) di bumi untuk menjaga alam dan berbuat baik kepada semua makhluk.

  • Hadits:

    Rasulullah SAW bersabda:

    "الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ"

    Artinya: "Orang-orang yang penyayang itu akan disayangi oleh Ar-Rahman (Allah). Sayangilah yang ada di bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh yang ada di langit." (HR. At-Tirmidzi)

  • Contoh Nyata:

    Dalam kegiatan jambore, seorang Pramuka aktif dalam kegiatan menanam pohon dan membersihkan sungai. Ia juga peduli terhadap teman-temannya yang kesulitan, membantu mereka mendirikan tenda atau berbagi bekal, yang mencerminkan semangat ukhuwah Islamiyah.

3. Patuh dan Suka Bermusyawarah (Syura)

Sikap patuh dan musyawarah dalam Pramuka sejalan dengan ajaran Islam. Islam mengajarkan ketaatan kepada pemimpin selama tidak menyimpang dari ajaran syariat dan menekankan pentingnya musyawarah dalam mengambil keputusan.

  • Ayat Al-Qur'an:

    Allah SWT berfirman tentang sifat orang beriman:

    وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ

    Artinya: "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka..." (QS. Asy-Syura: 38)

  • Contoh Nyata:

    Saat merencanakan kegiatan Perkemahan Sabt-Ahad (Persami), regu Pramuka tidak langsung mengambil keputusan sendiri. Mereka berkumpul, berdiskusi, dan mendengarkan pendapat dari setiap anggota sebelum mencapai kesepakatan bersama, yang dipimpin oleh ketua regu.

4. Suci dalam Pikiran, Perkataan, dan Perbuatan (Ihsan dan Akhlak Karimah)

Pramuka mengajarkan untuk selalu menjaga kesucian hati, ucapan, dan tindakan. Ini adalah esensi dari akhlak karimah (akhlak mulia) dan ihsan (berbuat baik seolah-olah melihat Allah).

  • Hadits:

    Rasulullah SAW bersabda:

    "إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ"

    Artinya: "Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak mulia." (HR. Al-Bukhari dalam Adab Al-Mufrad)

  • Contoh Nyata:

    Seorang Pramuka yang Muslim selalu berbicara santun kepada teman-temannya, tidak menyebarkan fitnah, dan menjaga hati dari prasangka buruk. Dalam setiap perbuatannya, ia selalu berusaha jujur dan ikhlas, seperti saat bertugas menjaga pos atau membantu orang tua di rumah.

Kesimpulan

Nilai-nilai Pramuka yang terangkum dalam Dasa Dharma dan Tri Satya adalah cerminan dari ajaran Islam yang berfokus pada pembentukan karakter unggul. Dari ketakwaan kepada Tuhan, kasih sayang terhadap sesama, hingga sikap jujur dan bertanggung jawab, semua memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Gerakan Pramuka bukan hanya sekadar kegiatan fisik, tetapi juga sebuah madrasah moral yang melatih generasi muda untuk menjadi individu yang bertaqwa, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi masyarakat.


"Seorang Pramuka yang sejati adalah cerminan seorang Muslim yang beriman; ia berbakti di dunia karena Tuhannya, berbuat baik kepada sesama karena cintanya, dan menjadi pemimpin yang amanah karena tanggung jawabnya."


SELAMAT HARI PRAMUKA YANG KE-64 












Share:

13 Agustus 2025

Tadabbur Surat Al-Hujurat Ayat 12 (3) : Larangan Ghibah



Bahaya Ghibah: Ketika Lisan Menjadi Pedang yang Mematikan

      Lisan adalah anugerah terbesar dari Allah SWT, namun juga bisa menjadi sumber malapetaka yang paling berbahaya. Di antara berbagai penyakit lisan, ghibah atau menggunjing adalah salah satu yang paling sering terjadi dan paling sulit dihindari. Ghibah, yaitu membicarakan keburukan orang lain di belakangnya, secara tegas dilarang dalam Islam. Al-Qur'an memberikan perumpamaan yang sangat mengerikan untuk perbuatan ini, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Hujurat ayat 12:

"Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka (kecurigaan), karena sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."

    Ayat di atas dengan sangat jelas memberikan larangan terhadap ghibah, bahkan menyandingkannya dengan perbuatan yang sangat menjijikkan: memakan daging saudara sendiri yang sudah mati. Perumpamaan ini bukan tanpa alasan. Ghibah secara moral sama dengan mencabik-cabik kehormatan dan harga diri seseorang yang tidak bisa membela diri.

      Mengapa ghibah sangat dilarang?

  1. Merusak Kehormatan dan Harga Diri: Ghibah menyebarkan aib seseorang yang seharusnya tertutup. Ini merusak reputasi dan kehormatan mereka di mata orang lain.

  2. Menimbulkan Permusuhan dan Kebencian: Ghibah adalah racun dalam persaudaraan. Jika seseorang tahu bahwa ia digunjing, ia akan merasa sakit hati dan menimbulkan permusuhan.

  3. Memusnahkan Pahala: Ghibah adalah salah satu perbuatan yang dapat memindahkan pahala seseorang kepada orang yang digunjing. Pahala shalat, puasa, dan sedekah kita bisa habis hanya karena membicarakan keburukan orang lain.

Catatan Penting: Ghibah tidak hanya tentang kebohongan. Menggunjing keburukan orang lain meskipun keburukan itu benar adanya tetaplah haram. Jika yang dibicarakan itu tidak benar, maka dosanya lebih besar lagi, yaitu fitnah atau buhtan.

Contoh Ghibah dalam Kehidupan Sehari-hari

  • Di Tempat Kerja: Saat makan siang, sekelompok karyawan membicarakan kebiasaan buruk rekan kerja mereka yang tidak ada di sana. "Si Budi itu kalau kerja lambat sekali, makanya deadline-nya sering telat," ucap salah satu dari mereka.

  • Di Lingkungan Pergaulan: Sekelompok ibu-ibu berkumpul dan membicarakan gaya hidup tetangga mereka. "Tetangga kita yang baru itu suka pakai baju yang agak terbuka, ya. Padahal dia sudah punya suami," kata salah satu ibu.

  • Di Media Sosial: Seseorang menyebarkan tangkapan layar (screenshot) pesan pribadi atau status teman untuk diejek di grup percakapan lain tanpa izin.

     Rasulullah SAW memberikan definisi yang sangat jelas tentang ghibah, sekaligus memperingatkan kita tentang bahayanya.

Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda, "Tahukah kalian apa itu ghibah?" Mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau bersabda, "Kamu membicarakan tentang saudaramu sesuatu yang dia benci." Seseorang bertanya, "Bagaimana jika yang saya katakan itu memang ada padanya?" Beliau menjawab, "Jika yang kamu katakan itu memang ada padanya, maka kamu telah melakukan ghibah. Dan jika tidak ada padanya, maka kamu telah berbuat bohong (buhtan)." (HR. Muslim)

      Hadits ini adalah tamparan keras bagi mereka yang beralasan, "Tapi kan itu benar." Kebenaran yang disampaikan dengan cara menggunjing tetaplah dosa.

Para ulama menempatkan ghibah sebagai dosa yang sangat serius.

  • Imam An-Nawawi dalam Riyadhus Shalihin menyebutkan bahwa ghibah adalah dosa besar. Beliau juga menjelaskan bahwa seorang mukmin harus selalu menahan lisannya dari membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat, apalagi yang dapat merusak kehormatan orang lain.

  • Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan bahwa seseorang yang menggunjing adalah orang yang tidak memiliki pekerjaan, karena ia sibuk dengan aib orang lain daripada memperbaiki diri sendiri. Ia bahkan menyamakan ghibah dengan meminum air kotor.

Penutup

      Ghibah adalah dosa yang mudah dilakukan namun berat akibatnya. Perumpamaan dalam Al-Qur'an tentang memakan bangkai saudara sendiri sudah cukup untuk membuat kita bergidik ngeri. Oleh karena itu, kita harus selalu berhati-hati dalam menjaga lisan.

Mulailah dengan melatih diri untuk selalu beristighfar setiap kali terlintas keinginan untuk menggunjing. Sibukkanlah diri dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti membaca Al-Qur'an, berdzikir, atau memperbaiki kualitas diri. Ingatlah, kehormatan seorang muslim adalah sesuatu yang sangat berharga di sisi Allah. Jangan sampai kita menjadi orang yang merusaknya.

Semoga Allah SWT senantiasa menjaga lisan kita dari perbuatan ghibah dan menjadikan kita hamba-Nya yang selalu menjaga kehormatan saudara-saudara kita.

Share:

12 Agustus 2025

Tadabbur Surat Al-Hujurat Ayat 12 (2) : Larangan Tajassus




Dalam kehidupan modern yang serba terhubung, godaan untuk mengetahui urusan pribadi orang lain semakin besar. Media sosial, grup percakapan, dan bahkan aplikasi pengintai seringkali membuat kita tergoda untuk melakukan tajassus—mencari-cari kesalahan atau aib orang lain. Namun, Islam secara tegas melarang perbuatan ini, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Hujurat ayat 12:

"Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka (kecurigaan), karena sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."

Tajassus adalah perbuatan mencari-cari atau menyelidiki aib orang lain, baik dengan cara menguping pembicaraan, mengintip, atau bahkan meretas akun pribadi. Ayat di atas secara eksplisit melarang perbuatan ini dengan frasa "walā tajassasū" yang berarti "janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain."

Mengapa Allah SWT melarang perbuatan ini?

  1. Melanggar Privasi dan Kehormatan: Setiap individu memiliki hak atas privasinya. Allah SWT menciptakan manusia dengan kehormatan dan harga diri yang harus dijaga. Ketika kita melakukan tajassus, kita secara langsung melanggar privasi dan merendahkan kehormatan orang lain.

  2. Membuka Pintu Fitnah dan Kebencian: Tajassus seringkali diawali dengan prasangka buruk (suudzon) dan berakhir dengan ghibah (menggunjing) atau bahkan fitnah. Perbuatan ini dapat merusak hubungan sosial, menimbulkan permusuhan, dan menyebarkan kebencian di tengah masyarakat.

  3. Hati Menjadi Kotor: Seseorang yang terbiasa mencari aib orang lain akan memiliki hati yang tidak bersih. Pikirannya selalu dipenuhi dengan kecurigaan dan keburukan. Ini akan menghalangi datangnya kebaikan dan keberkahan dalam hidupnya.

Contoh Tajassus dalam Kehidupan Sehari-hari

  • Mencari-cari tahu keburukan orang lain melalui temannya, saudaranya, atau  tetangganya dan lain-lain.

  • Menguping Pembicaraan rahasia orang lain. 

  • Membuka-buka folder atau pesan pribadi melalui HP/komputer orang lain tanpa hak atau tanpa ijin dengan tujuan mencari kesalahan atau aib orang tersebut.

  • dan lain-lain.

Rasulullah SAW memberikan peringatan keras terhadap pelaku tajassus.

Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda, "Jauhilah oleh kalian berprasangka buruk, karena sesungguhnya prasangka buruk itu adalah ucapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan memata-matai, jangan saling mendengki, jangan saling membelakangi, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa tajassus merupakan salah satu perbuatan yang dapat merusak persaudaraan antar sesama muslim. Tajassus seringkali menjadi akar dari berbagai penyakit hati lainnya seperti kedengkian dan permusuhan.

Para ulama memberikan penekanan penting tentang bahaya tajassus.

  • Imam Hasan Al-Basri pernah berkata, "Demi Allah, sungguh seorang mukmin tidak akan mencurigai orang lain dan tidak akan mencari-cari aib mereka."

  • Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa tajassus adalah tindakan yang dilarang karena dapat merusak hubungan sosial dan memicu kebencian. Beliau menegaskan bahwa seorang muslim harus menjaga kehormatan saudaranya seperti ia menjaga kehormatan dirinya sendiri.

Penutup

Larangan tajassus dalam Islam bukanlah tanpa alasan. Larangan ini bertujuan untuk menjaga kehormatan individu, menciptakan masyarakat yang harmonis, dan membersihkan hati dari segala penyakit. Al-Qur'an dan hadits Nabi mengajarkan kita untuk fokus pada perbaikan diri sendiri daripada sibuk mencari-cari aib orang lain.

Mari kita renungkan kembali. Setiap kita memiliki kekurangan dan aib. Jika kita tidak ingin orang lain mengintai dan menyebarkan aib kita, maka kita juga tidak boleh melakukannya kepada orang lain. Dengan menghindari tajassus, kita tidak hanya menaati perintah Allah, tetapi juga membangun hubungan yang lebih baik dan saling percaya.

Semoga Allah SWT senantiasa menjaga lisan dan perbuatan kita dari segala hal yang dapat merusak diri dan orang lain. Aamiin.

Share:

Postingan Populer